Menulislah Maka Kau Ada

Cogito ergo sum, sebuah ungkapan  Rene Descartes, seorang filsuf ternama Perancis yang berarti “aku berpikir maka aku ada.”   Ungkapan ini sepertinya cukup pas dengan kondisi saya yang masih berada di masa transisi dari bidang kajian al-Qur’an ke bagian peneliti. Saya merasa belum ada kontribusi bila belum menyumbangkan tulisan. Entah itu tulisan untuk dikirim ke web lajnah, ke jurnal, hingga tesis yang masih menjadi momok.

So, tanpa tulisan, seorang peneliti seperti mati suri. Hidup, tapi tidak ada dan seakan tak dianggap. Mana karya anda? mana kontribusi anda? Cukupkah dengan tulisan semacam blog ini? Well, bagi saya blog ini adalah semacam refresing dari berbagai penat. Tak akan masuk di penilaian angka kredit peneliti. Tapi setidaknya sebagai sarana latihan menulis dan mencari gaya tulisan yang pas dengan karakter saya yang sebenarnya tidak menyukai dunia formalisme dan tulisan yang sifatnya ilmiah dan banyak aturan. Blog adalah tempat menulis yang bebas dari aturan ilmiah yang baku dan kaku. Tidak butuh birokrasi untuk bisa dipublish. Tak perlu revisi ;). Itulah mengapa saya suka dan mencintai dunia blogging dari tahun 2009. Walau kalau dicermati, mungkin tulisan saya itu tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Biarlah, saya tak akan memaksa anda untuk membaca tulisan saya di blog ini. Kalau ada yang membaca, ya mungkin sekedar mampir untuk refresing, karena tulisan yang sifatnya ilmiah tidak akan anda dijumpai di sini. Hanya semacam pengalaman dan cerita sehari-hari dan apa yang ada  dan terlintas di otak dan di benak.

Jadi, ketika peneliti senior minta alamat blog saya, wah saya malu. Tulisan saya bukan untuk kalangan peneliti dan akademisi. Hanya semacam curhat pribadi. Lebih lanjut menurutnya, penting seorang peneliti memiliki blog, untuk branding personal, lebih bagus lagi bila blog memuat spesialisasi bidang ilmu yang menjadi concern-nya. Saya masih jauh dari itu. Ini hanya tulisan bebas dan mengalir apa adanya. Ringan, crispi dan renyah. Sekedar  cemilan pengantar nonton bola atau nonton film. Bukan main course kalau dalam tabble manner. so, mungkin nanti ada saatnya, saya memiliki blog yang berkaitan dengan concern ilmu yang ingin saya concern lebih lanjut. Ini masih sekedar belajar terbang, masih ancur-ancuran.  Harap maklum.

Tahun kemarin, ketika saya masih menjadi bagian bidang kajian al-qur’an walaupun status saya sudah menjadi peneliti, ungkapan Rene Descartes tentang “aku berpikir maka aku ada” belum begitu menjadi perhatian saya. Saya masih asyik tenggelam dengan berbagai program kegiatan bidang kajian al-qur’an yang jauh dari dunia tulis menulis namun lebih ke  kegiatan praktis dan panitia kegiatan. Tahun ini, ketika peneliti sudah terpisah, dan menjadi bidang tersendiri membuat saya tersadar, tugas utama peneliti adalah berkarya, meneliti dan menulis. Boleh memberikan sumbangan pikiran dan terlibat dalam kegiatan di 3 bidang yang ada di Lajnah Pentashihan Al-Qur’an: Bidang Pentashihan Al-Qur’an, Bidang   Kajian Al-Qur’an, dan Bidang Bayt Al-Qur’an. Namun secara tugas pokok dan fungsi, tidak akan masuk ke dalam penilaian angka kredit peneliti. Hanya masuk sebagai tugas tambahan.

So, ada sisi positif ketika peneliti menjadi satu bidang tersendiri, yang secara struktural langsung berada di bawah kepala Lajnah Pentashihan Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.  Tiada lain fungsi peneliti  lajnah agar fokus dengan karya, penelitian dan tulisan yang mampu mendukung kegiatan masing-masing bidang di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Transisi dari bidang kajian al-qur’an ke bidang peneliti menimbulkan sedikit rasa sepi. Ya, karena biasanya terlibat cengkerama dan canda dengan para staf bidang kajian al-qur’an ketika menyiapkan berbagai kegiatan bidang kajian al-qur’an dan sekarang sudah tidak begitu lagi. Tidak setiap kegiatan bidang dua, terlibat di dalamnya. Ada sisi-sisi yang hilang, merasa ada yang kosong. Begitulah perubahan, membawa suatu proses yang membutuhkan adaptasi personal. But its oke. Itu bagian dari pertumbuhan pribadi. Ada sisi lain yang membutuhkan fokus pengembangan dan memang harus ditumbuhkan. I am a researcher not staff at bidang Kajian al-Qur’an anymore. Walau secara personal dengan semua staf yang ada di bidang kajian al-qur’an tetaplah berhubungan baik dan dekat, namun secara tugas dan fungsi sudah berbeda. Jadi…….. welcome to the real jungle, DUNIA PENELITIAN.. =)

Dunia yang banyak bersentuhan dengan buku-buku, jurnal, membuat tulisan. Yup… Menulislah, maka kau ada. Tanpa tulisan, apa arti seorang peneliti?

Walau ada kesan sepi dari berbagai kegiatan (tak begitu terlihat hiruk-pikuknya), sebenarnya peneliti sibuk dengan pikirannya ketika berdiskusi dengan berbagai tulisan, buku, jurnal. Mana bisa, sibuk dengan bacaan sambil becanda atau rame seperti pas di bidang kajian al-qur’an. Tidak bisa fokus kalau begitu. Wajar bila saya melihat para peneliti senior ketika di depan laptop atau komputer terkesan serius dan betah duduk berlama-lama. Memang secara fisik tidak terlihat sibuk, hanya duduk di depan laptop, kadang diskusi, rapat, turun ke lapangan. Tak terlihat, apakah sedang  serius kerja atau hanya bermain-main di depan laptop. Kalau tidak penting-penting amat, tidak perlu ngobrol ngalor ngidul yang tidak ada perlunya. Fyuuuuh…

Turun ke lapangan adalah suatu refresing karena dapat mengobrol dengan berbagai macam manusia dengan berbagai karakter dan mengenal berbagai komunitas dengan adat-istiadat, budaya, kepercayaan, suku yang beragam. Walau untuk turun ke lapangan butuh kesiapan materi dan skill. Tidak sekedar terjun bebas, apa yang akan didapatkan tidak akan fokus bila begitu. Pengalaman mendampingi penelitian seorang dosen (waktu menjadi asisten peneliti), beliau sudah memiliki draft tulisan yang cukup matang. Bagian-bagian kosong dari tulisannya itu yang akan dicari dan didapatkan dari lapangan. Wewwww untuk bisa begitu salah satu syaratnya adalah membaca banyak referensi dan belajar menuliskannya secara sistematis. Jadi tidak kerja dua kali.

Untuk mampu menulis harus ada input yaitu dengan banyak membaca. Untuk membaca butuh bercengkerama dengan buku, bukan dengan manusia. Jadi perlu sedikit menepi dari keramaian dan riuh rendah dunia mengobrol dengan teman-teman/manusia. Dia perlu memperbanyak mengobrol dengan buku dan tulisan. Sejatinya, mengobrol dengan tulisan adalah kesibukan yang tak terlihat keriuhannya. Keriuhan itu baru akan nampak ketika terbit dalam bentuk tulisan. Tanpa tulisan, tak ada bukti. Tanpa bukti dianggap tidak jelas kinerjanya. Kontribusi terlihat dari tulisan, bukan sekedar membuat ajuan anggaran kegiatan, presensi, notulasi, rapat-rapat, diskusi atau terlibat sebagai panitia di berbagai kegiatan. Ya, itu secara kasat mata terlihat sibuk, namun tidak untuk seorang peneliti. Itu tidak masuk SKP (Sasaran Kinerja Pegawai) yang dapat diajukan sebagai angka kredit peneliti. Itu hanya untuk catatan LKH (Lembar Kerja Harian).

Walau kadang kesel juga dengan salah seorang peneliti yang tidak mau terlibat aktif dalam urusan administrasi, semacam laporan kegiatan penelitian, kelengkapan berkas administrasi (presensi, spj keuangan, urusan tetek bengek hotel) yang dipandang sebagai kerja rendahan dan kasta paria. Dia menempatkan dirinya sebagai sosok yang ahli dan tidak mungkin menangani hal-hal tersebut. Its oke kalau begitu, tapi bukan berarti tidak menghargai kerja administrasi dan meremehkannya bukan?  Apalagi kalau posisinya sebagai salah satu PJ kegiatan. Tidak bisa terlepas dari kegiatan administratif lah. Justru laporan kegiatan itu mencakup seluruh berkas administrasi menjadi tanggung jawabnya. Bukan parsial sekedar tulisan laporan yang menjadi tanggung jawabnya. Itu yang perlu diluruskan. Tak mungkin kegiatan penelitian jalan tanpa adanya perencanaan yang melibatkan anggaran keuangan, surat-menyurat, koordinasi dengan hotel, perlengkapan, hingga urusan konsumsi dan snack. Hargailah kontribusi masing-masing orang yang terlibat di dalamnya. Memang bisa kerja sendiri tanpa tim? Perlu dismash dan ditonjok dengan keras, orang dengan karakter seperti itu. Saya akan lebih respect pada orang yang berilmu, tapi tetap rendah hati, menghargai semua orang dari tataran atas hingga tukang bersih-bersih. Justru orang seperti itu membuat saya termotivasi untuk belajar dan terus belajar.

Saya melihat, sudah ada sedikit perubahan di dirinya. Semoga lebih baik dan peka terhadap kerja sama tim. Bukankah tim itu ibarat pohon; ada akar, batang, ranting, daun, buah, hingga puncuk daun teratas. Tak bisa bila semua ingin menjadi buah, daun, atau batang. Harus ada yang ihlas menjadi akar. Tidak terlihat namun sangat berkontribusi menopang keseluruhan pohon dari atas hingga akar. Akar yang kuat, tajam dan menghujam bumi dengan kerendahan hati mengikhlaskan perannya bagi buah yang bisa dinikmati manusia.

Biarlah, berbagai karakter orang mengasah pribadi kita menjadi lebih baik dan lebih bijak. Berkaca, melihat kekurangan diri, berusaha memperbaikinya, dan tidak meniru hal-hal yang tidak baik. Tirulah hal yang baik. Walau saya yakin, tidak ada orang yang sempurna yang semuanya baik. Ada sisi-sisi kekurangan, kelemahan. Itulah mengapa manusia butuh orang lain dan bekerja sama, untuk saling melengkapi.

NB> perasaan mau nulis yang  agak ilmiah, eh keluarnya ngasal, kenapa jadi curhat lagi yah? =)

 

Tinggalkan komentar